Minggu, 30 Maret 2014

FISIOLOGI HAID


Fisiologi Haid pada Wanita
31st March 2014
#Nadya Fitriana, email: belangmono@gmail.com
 

Ada 4 kompartemen pada fisiologi haid, yaitu endometrium, ovarium, hipofisis, dan hipotalamus. Hormone wanita terdiri dari hormone estrogen, progesterone dan GnRH yang terdiri dari FSH dan LH. Hipotalamus berada diotak kecil tepatnya dibawah thalamus. Hipotalamus merupakan suatu kelenjar yang berfungsi menghasilkan gonadotropin realizing hormone yang akan mempengaruhi hipofisis dengan melepaskan hormone menuju hipofisis. Hipotalamus terletak di ciasma optica, yaitu persilangan nervus opticus, dan dibelakangnya ada sela tursica yang merupakan tempat hipofisis atau pituitary. Hipofisis ini berbentuk seperti buah almon, yang terdiri dari 2 lobus, yaitu lobus anterior dan posterior. Lobus anterior hipofisis menghasilkan FSH dan LH, sedangkan lobus posterior hipofisis menghasilkan ADH, oksitosin dan prolaktin.
Saat wanita mengalami haid, akan terjadi pelepasan membrane basalis pada endometrium sehingga tebal endometrium ≤ 3 mm, yaitu disaat level hormone estrogen dan progesterone turun. Karena itu, akan memberikan efek umpan balik melalui neurotransmitter ke hipotalamus, sehingga GnRH yang dihasilkan hipotalamus mempengaruhi hipofisis untuk memproduksi FSH. GnRH di hipotalamus dengan sekresi yang pulsasi, ada critical rangenya. Maksudnya, GnRH hanya dihasilkan sebentar, terutama saat tidur. Jika seorang wanita sering tidur diatas jam 12 malam, maka akan sering mengalami gangguan haid. Jadi, saat kita tidur, akan dihasilkan GnRH dengan sekresi yang pulsasi seperti menyemprot tiap beberapa menit. Setelah itu akan masuk ke hipofisis melalui aliran darah sehingga terpengaruhlah hipofisis, yang dinamai dengan ‘short feedback’.

FSH, dihasilkan oleh hipofisis anterior, merupakan hormone gonadotropin yang akan mempengaruhi gonad wanita yaitu ovarium (kompartemen ke II). Sebenarnya, di ovarium, terjadi 2 hal, yaitu folikulogenesis dan steroidogenesis yang terjadi secara bersamaan. Di dalam folikel terdapat 2 sel, yaitu sel granulose dan sel THECA interna dan eksterna. Jika sel granulose berkembang, akan membentuk dan menghasilkan hormone estrogen yang bersumber dari androgen yang ada di sel THECA. Prosesnya yaitu, sel androgen yang ada pada sel THECA yang awalnya berasal dari kolesterol, akan diaromatisasi oleh enzim sitokrom P450 yang dimiliki sel granulose. Setelah diaromatisasi, jadilah hormone estrogen atau estradiol. Inilah yang dimaksud dengan proses steroidogenesis. Dengan dihasilkannya estrogen, akan mempengaruhi proliferasi dari endometrium.

FSH bekerja dengan menstimulasi pembentukan folikel di ovarium (folikulogenesis), yang dimulai dari foliker primer. folikel primer berasal dari folikel primordial. Folikel primordial ini bersifat independent dan tidak dipengaruhi oleh gonadotropin. Folikel primordial yang akan menjadi folikel primer, merupakan cadangan folikel yang ada pada ovarium. Semakin banyak cadangan folikel pada wanita, maka akan semakin lama dan panjang wanita tsb mengalami menopause. Proses folikel primordial menjadi folikel primer dikarenakan adanya aktivin dan inhibin. Folikel primordial ini merupakan hasil dari perekrutan 3 bulan yang lalu atau 90 hari yang lalu. Jika 3 bulan yang lalu seorang wanita mengalami stress berat, maka kemungkinan di bulan ini wanita tsb tidak mendapat haid. Masa folikulogenesis ialah 14 hari, bisa memanjang  dan bisa memendek. Hal ini akan mempengaruhi siklus haid. Jika masa folikulogenesis memendek, maka siklus haid akan cepat.
Siklus menstruasi dimulai di hari pertama haid, yaitu dimana hormone progesterone dan estrogen levelnya tiba-tiba turun karena tidak adanya kehamilan. diantara hari pertama sampai hari keempat, folikel primordial sudah standby akan menjadi folikel primer. lalu dihari keempat, folikel primer ini akan mulai tumbuh. Dari sekian banyak folikel primer, ada yang namanya ‘cohort of follicles’, yaitu kelompok folikel yang akan ditumbuhkan. Kemungkinan hanya 1 atau 2 yang akan menjadi folikel dominan, dan sisanya akan mengalami atresia.

Sel folikel semakin lama akan semakin matang dan berproliferasi. Semakin matang folikel, maka akan sebanyak reseptor FSH-nya. Akibatnya FSH akan semakin mudah menstimulasi folikel untuk tumbuh besar hingga menjadi ukuran folikel sebesar 1,8 cm. Jika pertumbuhannya sudah mencapai 1,8 cm maka folikel ini disebut dengan folikel dominan. Folikel dominan ini nantinya akan menjadi folikel matang atau folikel de graff.
Begitu juga dengan estradiol yang dihasilkan oleh sel granulose (bagian dari sel folikel). Estradiol yang dihasilkan akan semakin meningkat di dalam darah. Dengan semakin meningkatnya kadar estradiol ini, berangsur-angsur terjadi pemulihan endometrium. Oleh karena vasokonstriksi saat akhir menstruasi, maka endometrium akan mulai pulih dengan ditandai kelenjarnya bertambah panjang, epitelnya bertambah tebal, dan pembuluh darahnya menjadi ‘coiling’ (art radialis à art spiralis). Arteri spiralis inilah yang akan memperdarahi endometrium sehingga bisa mempersiapkan diri menghadapi implantasi. Ketika estrogen/estradiol mencapai puncaknya yang maksimum (kadarnya yang tertinggi), akan memacu terbentuknya reseptor LH, yaitu akan menimbulkan respon umpan balik (+) ke hipotalamus dan hipofisis yang akan menghasilkan LH untuk menimbulkan ovulasi.
Folikel dominan belum tentu dapat menjadi folikel matang. Jika ada kegagalan saat lonjakan LH, maka akan terjadi kegagalan ovulasi (anovulasi). Untuk itu, seorang wanita harus berhati-hati. Jika siklus haidnya 28 hari, maka pada hari ke 12 atau 13 tidak boleh stress, jika terjadi stress, maka akan menyebabkan kegagalan ovulasi. LH hanya dihasilkan pada malam hari dan hanya sekitar dua jam. Jika waktu 2 jam ini terganggu, maka LH tidak bisa disekresikan kedalam darah. LH hanya bertahan didalam darah selama 12 jam, setelah itu akan menurun dan menghilang dari tubuh.

Berikut merupakan fungsi LH adalah : (1) akan menimbulkan ovulasi, (2) menghentikan oosit maturasing inhibitor (OMI) dalam stadium meiosis I. Jika LH tinggi kadarnya, maka OMI akan hancur. Akibatnya, oosit meiosis I akan masuk ke meiosis II. Meiosis II inilah yang akan siap di fertilisasi. Jika OMI tidak dihancurkan dikarenakan LH tidak ada, akibatnya ovulasi tidak akan terjadi (anovulasi) sehingga meiosis II pun tidak akan terjadi.
Jika ovulasi terjadi oleh adanya LH, maka akan terbentuklah corpus luteum yang berwarna kuning. Hal ini disebut dengan proses luteinisasi. Pada corpus luteum ini, ada sel granulose (bagian dari sel folikel) yang menghasilkan progesterone. Dengan dihasilkannya progesterone, juga akan mempengaruhi proliferasi endometrium, yaitu kelenjarnya semakin berkelok-kelok dan epitelnya semakin tebal, yaitu > 5 mm. Pada saat setelah ovulasi ini kadar estrogen tetap ada, namun kadar estrogen lebih rendah dibandingkan kadar progesterone (progesterone dominan). Kedua hormone ini akan sama-sama mengalami kenaikan, namun kadar progesterone kadarnya akan lebih tinggi dibandingkan dengan kadar estrogen. Jika ovulasi tidak terjadi, maka tidak akan terjadi proses luteinisasi (pembentukan corpus luteum) sehingga progesterone pun juga tidak akan dihasilkan.
Perlu diketahui, fase folikulogenesis pada seorang wanita bisa memanjang, bisa memendek, bisa 15 hari, 17 hari, 21 hari dsb. Sedangkan fase luteal cenderung sama (12-14 hari). Akan tetapi, ternyata wanita dengan siklus haid > 35 hari cenderung tidak terjadi ovulasi. Karena jika folikel itu lama matangnya, maka lama-kelamaan akan rusak dan oositnya juga rusak.
Jika terjadi kehamilan, maka progesterone tidak akan perneh turun. Sesuai dengan namanya, progestasi = mempertahankan kehamilan. Setelah proses ovulasi terjadi, jika endometrium yang dipersiapkan dibuahi (fertilisasi), yaitu oosit pada meiosis II akan berubah menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel dan 32 sel lalu akan masuk stadium blastokist yang akan mengalami proses hatching, yaitu keluar dari selubungnya dan akan mengalami implantasi. Proses ini terjadi setelah 72-96 jam terjadinya fertilisasi. Yang dikatakan optimal mengalami implantasi, jika tebal endometrium > 7 mm. Biasanya, tebal endometrium ini diketahui dari USG transvaginal.

Pada saat tidak terjadi implantasi, maka progesterone dan estradiol akan turun tiba-tiba dan terjadilah proses deskuamasi. Progesterone akan mempengaruhi pembentukan prostaglandin, metal metalo proteinase, endotelin, PGF2α, dll. Jika tidak terjadi implantasi, maka korpus luteum akan mengalami degenerasi menjadi corpus albicans, akibatnya progesterone dan estrogen turun, sehingga prostaglandin, dkk akan menimbulkan terjadinya deskuamasi dan perdarahan (menstruasi).
Sering terjadi perdarahan secara berlebihan pada sebagian wanita di saat menstruasi. Hal ini dikarenakan kolaps jaringan tidak terjadi secara serentak, perdarahan hanya sedikit-sedikit terjadi sehingga pada satu bulan berikutnya akan bertumpuk lagi, lama-kelamaan akan menjadi rapuh, dan pada suatu saat akan menyebabkan perdarahan haid yang panjang. Untuk menghentikannya, maka kolaps jaringan harus terjadi secara serentak. Jadi, endometrium harus keluar semuanya, barulah bisa terjadi vasokonstriksi. Pada membrane basalis, pembuluh darah yang terbuka akan menjadi vasokonstriksi oleh pengaruh prostaglandin, PGF2α. Jika factor pelepasan dan penghentian seimbang, maka menstruasi akan terjadi dan berhenti secara normal.
Trombosit tidak dikeluarkan saat menstruasi berlangsung. Itulah sebabnya darah haid yang dikeluarkan pada umumnya encer. Gumpalan didalam darah merupakan mikrofibrin (fibrin yang belum matang). Jika terjadi gangguan pembekuan darah (factor X dan XII tidak ada), seperti pada penyakit ‘von willebrand disease’ atau pada penyakit koagulopati, dimana bisa terjadi perdarahan uterus abnormal yang iatrogenic. Namun, penyakit ini dapat diobati dengan terapi hormonal, yaitu dengan pemberian estrogen dan progesterone sintetik (etinil estradiol dan progestin progesterone).

Setelah darah haid berhenti, yang harusnya berhenti secara serentak. Jika ada flek dalam jangka panjang, maka ada gangguan. Mungkin saja ada yang salah dari factor vasokonstriksi. biasanya hal ini terjadi pada endometriosis. Hal ini juga merupakan penyebab perdarahan uterus abnormal. Normal, pada wanita, interval menstruasi berkisar antara 24-35 hari. Jika seorang wanita tidak mengalami haid > 35 hari, maka disebut oligomenore. Sebaliknya, jika siklus haid seorang wanita < 24 hari, maka disebut polimenore.
Beberapa kelainan lainnya, yaitu (1) menoragia adalah haid yang panjang dan banyak, tidak normal (N= 2-8 hari), yaitu durasinya meningkat dan volumnya meningkat hingga lebih dari 80cc/hr. Menoragia disebut sebagai ‘heavy menstrual bleeding’ atau disebut juga perdarahan haid yang banyak. (2) metroragia adalah perdarahan diluar waktu menstruasi yang normal. Metroragia disebut sebagai ‘inter-menstrual bleeding’ yaitu perdarahan antara waktu haid yang kemarin dan haid sekarang. (3) withdrawal bleeding, yaitu terjadi ketika seorang wanita minum pil KB, yang isi hormone 21 hari dan placebo 7 hari. Yang menyebabkan menjadi withdrawal bleeding ketika minum yang placebo 7 hari, sehingga hormone akan menjadi turun dan terjadilah menstruasi. (4) breakthrough bleeding, yaitu jika seorang wanita akan menginduksi menstruasi. Misal, pada seorang wanita yang sudah lama tidak haid (3 bulan tidak haid), lalu diberi tablet progestin sehingga mengalami haid. Contoh lain pada seorang wanita post op pengangkatan kista. Jika hormone tsb tiba-tiba dihentikan, maka tiba-tiba akan lepas dan terjadilah haid.

Keluarnya darah haid tergantung tebal tipisnya endometrium. Pada wanita yang menggunakan kontrasepsi hormonal dalam jangka panjang, karena adanya efek supresi ovulasi yang lama, folikulogenesis tidak akan terjadi dan endometrium pun akan menjadi lebih tipis, oleh karena itu, kebanyakan haid yang dialami hanya berupa bercak-bercak saja. Misalnya pada wanita yang mengggunakan KB, mereka akan terlihat lebih gemuk dan datang haidnya lebih sering terlambat.

Minggu, 23 Maret 2014

Hiperemesis Gravidarum


Hiperemesis Gravidarum
23rd March 2014
#Nadya Fitriana, email: belangmono@gmail.com
 

-merupakan gejala pada ibu hamil
-gejalanya berupa mual muntah selama trimester pertama
-lazimnya terjadi 6 minggu setelah HPHT
-terjadi kurang lebih selama 20 minggu di pagi dan malam hari
-di minggu ke -12 akan mulai menurun gejalanya
-jika gejala mual muntah mengakibatkan terganggunya aktivitas, disebut—hiperemesis
-jika gejala mual muntah tidak mengganggu aktivitas maka disebut sebagai emesis

-etiologi : unknown/idiopatik
-predisposisi :
            *hamil anak pertama di umur <18 tahun
            *terdapat mola, yaitu Beta HCG yang lebih tinggi
            *hiperplantosis, yaitu plasenta nya luas
            *masuknya vili korialis dalam sirkulasi maternal
            *alergi
            *psikologik, seperti wanita yang tidak siap hamil
            *kehamilan ganda

-patologi :
            *jika gejala sudah berat, maka akan terjadi malnutrisi
            *pada hati akan terjadi degenerasi lemak (sentrilobuler) tanpa nekrosis
            *jantung jadi kecil dan atrofi
            *otak, terjadi kejang-kejang (ensefalopati wernick) dan ada bercak perdarahan
            *ginjal, tampak lebih pucat dan terjadi degenerasi lemak
***Untuk itu perlu persiapan pra nikah atau konseling

-patofisiologi:
            *peningkatan estrogen
            *nafas bau – kalium turun/alkalosis hipokloremik
            *ptialism –salivasi berlebihan
            *cadangan CHO dan lemak menurun, sehingga terjadi
            *lemak akan pecah menjadi keton
            *timbul ketosis—bau
            *pasien malas minum : dehidrasi
            *elektrolit turun – muntah
            *jika muntah nya sampai berdarah, maka disebut sindroma malory weiss, yaitu
rusaknya sel lender esophagus karena elektrolit yang turun  

-tingkatan gejala :
  --tingkatan pertama :
            *mual, muntah
            *nyeri epigastrium
            *nadi cepat (100x/menit)
            *tekanan darah menurun
            *turgor turun
            *mata cekung
            Tindakan : pasien dirawat dan rehidrasi, beri minum yang banyak

--tingkatan kedua:
            *apatis
            *turgor lebih menurun
            *lidah kotor
            *suhu naik
            *mata sudah ikterik (sbg tanda perlemkan pada hati)
            *berat badan turun
            *mata cekung
            *TD turun
            *adanya hemokonsentrasi, karena cairan turun sehingga darah menjadi kental
            *kencing sedikit (normal kencing: 1ml/kgBB/jam)
* terdapat aseton pada kencing dan nafas

--tingkatan ketiga:
            *sangat parah sekali
            *somnolen sampai koma
            *nadi kecil dan cepat
            *suhu meningkat
            *terjadi ensefalopati wernik: nistagmus, diplopia, dan perubahan mental
            *stress berat seperti orang gila
            *bisa menyebabkan kematian
           
-diagnosis :
            *mudah, tidak sukar
            *amenore, hamil muda
            *muntah terus menerus
            *pekerjaan sehari-hari terganggu
*keadaan umum menjadi buruk
*PF: vaginal toucher- uterus besar sesuai kehamilan
       : inspekulo – serviks berwarna biru
*USG : untuk mengetahui kehamilan kembar atau adakah molahidatidosa
*Lab : Hb dan Ht naik, shift to the left, benda keton, proteinuria

-resiko :
  --maternal : akibat defisiensi vit B1 akan terjadi diplopia,nistagmus, ataksia dan kejang. Jika tidak segera ditangani akan terjadi psikosis korsakof (amnesia, turunnya kemampuan beraktifitas)
--fetal : beresiko terjadinya IUGR (IntraUterineGrowthRetardation)

-pencegahan :
            *harus ada penerangan/konsultasi karena idiopatik ataupun psikologis
(ketidaksiapan hamil)
*bahwa mual mutah itu adalah fisiologis dan hilang setelah 4 bulan –emesis
*makan sering walaupun sedikit
*seperti makan biscuit dengan teh hangat
*minum sesering mungkin
*beri obat yang tidak mengganggu janin

-pengelolaan :
1. obat  :
-pyridoxine vit B6, 25mg, indikasi: defisiensi vit B6, mual, muntah, gg GIT dan migraine saat hamil, dosis : dewasa 50-100mg, dianjurkan diberi bersamaan dengan makanan. Kemasan : 1000 tab
            -domperidon, tablet 10mg, indikasi: mual akut dan muntah-muantah, dosis : 10-20mg 3x sehari, diberi sebelum makan. Perhatian pada ibu hamil dan menyusui. diberi jika gejala sudah berat. kemasan: dus 5x10 tab salut selaput
            -tidak boleh diberi talidomid, karena bisa menyebabkan cacat janin

2. isolasi supaya tenang
3. psikologik –perlu konselor
4. jika sudah s/ ke ingkat III perlu dilakukan terminasi

-manajemen :
1. jika terdapat keluhan berat pasien dirawat di RS
2. stop makanan peroral 24-48 jam
3. infus glukosa 10% atau bisa juga diberi RL 5% sebanyak 40 tetes/menit
4. vit B12, 200 ug/hari/infuse
5. vitamin C 200 mg/hari/infuse
6. fenobarbital 30 mg IM 2-3x perhari atau diazepam 5 mg IM 2-3x perhari
7. antiemetic : prometazin, 2-3x 25mg  perhari secara oral
8. antasida : milanta 3x1 tablet sehari

-Diet:
1. pada hiperemesis tingkat III, makanannya berupa roti kering dan buah-buahan. cairan tidak diberi bersamaan dg mkanan, tapi 1-2 jam setelahnya
2. diberi bila rasa mual dan muntah berkurang. Secara berangsur mulai diberi makanan yang bergizi tinggi. Minuma tidak diberikan bersama makanan
3. pada hiperemesis tingkat I, menurut kesanggupan penderita, minuman bleh diberi bersamaan dengan makanan
4.utk rehidrasi dan suplemen vitamin :
            *NaCl fisiologis 0.9%
            *tiamin diberi sebanyak 100 mg dalam 100cc NaCl
5. antiemesis : domperidon

-prognosis :
Jika penanganan bagus, maka prognosisnya akan memuaskan
            

Jumat, 21 Maret 2014

HUBUNGAN BENIGN PROSTATE HYPERTROPHY DENGAN DISFUNGSI EREKSI DI RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU


HUBUNGAN BENIGN PROSTATE HYPERTROPHY DENGAN DISFUNGSI EREKSI DI RSUD ARIFIN ACHMAD PROVINSI RIAU

Nadya Fitriana1, Zuhirman2, Suyanto3
1Penulis untuk korespondensi: Fakultas Kedokteran Universitas Riau,
2Bagian Bedah Urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau
3Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Riau
Alamat: Jl. Dipenogoro No.1, Pekanbaru


ABSTRACT
 Both erectile dysfunction (ED) and benign prostate hypertrophy (BPH) are two related health problems experienced by men aged over forty years. BPH and ED highly affect on men’s quality of life (QOL). It’s necessary to do research about the correlation between BPH and ED by using two kinds of valid scores i.e. International prostate symptoms scores (IPSS) for determining the severity of BPH and International index of erectile function-5 (IIEF-5) which as screening for ED on patients of BPH. Aim of this study was to know the description about BPH patients with ED and their relation by using IPSS and IIEF-5. This is a cross-sectional study which analyze the correlation between severity of BPH and ED by using IPSS and IIEF-5 in Urology Clinic of Arifin Achmad Regional General Hospital. Results obtained from 60 subjects who fulfill the inclusion criterias. Highest incidence of BPH patients present on the age group 60-69 years (38.3%). There are 90% patients of BPH with ED. The degree of BPH and ED experienced by patients are mostly severe, respectively 53.3% and 40%. Level of QOL scores is mostly unsatisfied (58.3%). From Spearman test acquired that there is a significant and very strong correlation between the severity of BPH and ED (r=0.836, p<0.001). High incidence for ED on patients of BPH was found and there’s a correlations between severity of BPH and ED where if the severity of BPH is increasing, the severity of ED will be increased too.

Key words : BPH, ED, QOL, Age.

PENDAHULUAN
Disfungsi ereksi (DE) yang lebih dikenal dengan impoten oleh masyarakat merupakan masalah kesehatan umum yang banyak dialami pria seiring dengan bertambahnya usia, yaitu suatu ketidakmampuan untuk mencapai ereksi yang cukup untuk melakukan senggama bersama pasangannya sehingga menimbulkan ketidakpuasan diantara kedua pasangan tersebut. Disfungsi ereksi dapat terjadi karena berbagai penyebab, namun biasanya dapat terjadi karena faktor organik dan psikogenik.1,2
Berdasarkan etiologinya disfungsi ereksi dapat diklasifikasikan menjadi disfungsi ereksi yang disebabkan oleh psikogenik, organik, penyalahgunaan obat-obatan dan juga dapat disebabkan oleh pasca tindakan bedah.3,4 Disfungsi ereksi berdampak sangat besar sekali pada kualitas hidup seorang pria dan pasangannya sehingga dapat menimbulkan gangguan psikis yang berat.2
Prevalensi disfungsi ereksi meningkat pada usia diatas 40 tahun. Beberapa hasil studi menyatakan bahwa kejadian disfungsi ereksi berhubungan dengan penyakit benign prostate hypertrophy (BPH). Berdasarkan hasil penelitian dari Cologne Male Survey oleh Braun,dkk bahwa BPH merupakan salah satu faktor resiko terjadinya disfungsi ereksi.5
Sama halnya dengan disfungsi ereksi, BPH juga merupakan gangguan yang paling sering dialami pria yang semakin meningkat pada usia diatas empat puluh tahun.5,6 Terminologi BPH secara histologi ialah terdapat pembesaran pada sel-sel stroma dan sel-sel epitel pada kelenjar prostat.6 BPH akan menjadi suatu kondisi klinis jika telah terdapat berbagai gejala pada penderita. Gejala yang dirasakan ini dikenal sebagai gejala saluran kemih bawah (lower urinary tract symptoms= LUTS).6 Studi yang dilakukan di Amerika Serikat oleh Olmsted Country didapatkan prevalensi BPH mencapai hingga 13% pada usia diatas 40 tahun dan meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi BPH yang didapat dari studi multisenter di Asia lebih tinggi dibandingkan di Amerika Serikat yaitu sekitar 18% pada usia diatas 40 tahun.7 Sedangkan prevalensi BPH di Indonesia, sampai saat ini belum diketahui secara pasti.
Penyakit BPH dan disfungsi ereksi merupakan dua masalah yang saling berkaitan. Hasil studi analisis pada 198 artikel yang relevan oleh Glina bahwa terdapat data epidemiologi yang kuat yang menunjukkan LUTS/BPH merupakan faktor resiko terjadinya disfungsi ereksi. Adanya peningkatan tonus adrenergik akan memicu pertumbuhan pada prostat yang lama kelamaan akan menimbulkan obstruksi parsial pada buli sehingga dapat menyebabkan gangguan berkemih serta gangguan pada fungsi ereksi. Arteriosklerosis juga dapat menyebabkan ketidakpuasan dalam berkemih (loss of vesical complacency), obstruksi pada traktus urinarius dan fibrosis pada korpus kavernosus yang akan memicu terjadinya LUTS/BPH dan DE. Penggunaan obat yang sama untuk pengobatan LUTS/BPH sekaligus disfungsi ereksi, yaitu phosphodiesterase-5 inhibitor (PDE-5i) dan/atau antagonis adrenergik reseptor α, juga memperkuat bahwa dua kejadian klinis tersebut saling berhubungan.5
Untuk menentukan derajat berat ringannya BPH, maka dibuatlah suatu skoring, salah satunya skoring International Prostate Symptoms Score (IPSS) yang diambil dari American Urological Association (AUA).8 Untuk membantu mengidentifikasi kemungkinan adanya disfungsi ereksi digunakan suatu indeks fungsi ereksi yang dikenal dengan International Index of Erectile Function-5 (IIEF-5).9 Banyak artikel menunjukkan korelasi yang kuat antara kedua instrumen valid ini, dimana jika terdapat gangguan berkemih yang semakin buruk, juga akan terdapat perburukan pada fungsi ereksi pada pria berusia 40 tahun keatas.5
Selain skor IPSS dan IIEF-5, indeks kualitas hidup (quality of life= QOL) merupakan komponen penilaian yang juga penting untuk menilai efek keseluruhan klinis dari pasien BPH. Kebanyakan pria mencari pengobatan BPH karena ada hal-hal yang mengganggu dalam kehidupan mereka dan banyak mempengaruhi kualitas hidup mereka. Satu pertanyaan pada skor kualitas hidup yang telah dimasukkan oleh Komite Konsensus Internasional berguna untuk menilai dampak gejala penyakit BPH pada kualitas hidup pasien BPH.10
Hasil penelitian yang dilakukan Gomez Acebo, dkk (2000) didapatkan hampir 20% pasien pria yang berpartisipasi dalam penelitian tersebut memiliki gejala yang sedang dan berat pada skor IPSS, 15% diantaranya mengeluh tidak puas dengan fungsi saluran kencing mereka dan berdampak pada kualitas hidup mereka. Umumnya gejalanya seperti merasa penuh (filling), nokturia, mengeluh pada pengosongan (emptying), dan mengeluh bahwa ketika mengeluarkan urin saat berkemih harus dengan lebih kuat dari biasanya (force and flow of the urinary stream).11 Kontraksi kuat yang terus menerus ini dapat menyebabkan perubahan anatomi pada buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, dan terbentuknya divertikel pada buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien dirasakan sebagai gejala LUTS.9
                Prevalensi LUTS sangat bervariasi di beberapa negara di Asia. Di Singapura berkisar antara 14%, dan hingga 59% di Filiphina. Dilaporkan bahwa LUTS  sedang hingga berat dialami oleh 36% pada pria berusia 50-59 tahun, 50% pada pria berusia 60-69 tahun, dan 60% pada pria berusia 70-79 tahun.12 Adapun hasil penelitian Nugroho Budi Utomo, dkk di RS Cipto Mangunkusumo yang dilakukan pada 100 subjek pasien BPH/LUTS didapatkan delapan persen tidak memiliki libido, 17% tidak bersenggama, 45% sulit mencapai ereksi, 55% sulit mempertahankan ereksi, 33% tidak mencapai orgasme, 26% tidak mengalami ejakulasi, dan 41% menyatakan tidak puas dalam berhubungan seksual.13
Berdasarkan penyakit diatas, sejauh ini belum pernah dilakukan penelitian tentang hubungan kejadian BPH dengan disfungsi ereksi di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Oleh karena itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikan apakah ada hubungan antara BPH dengan disfungsi ereksi. Dibutuhkan penelitian cross-sectional untuk melacak hubungan antar keduanya di klinik urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jumlah penderita BPH berdasarkan umur, mengetahui jumlah penderita BPH berdasarkan derajatnya dengan menggunakan skor IPSS, mengetahui tingkat kualitas hidup pasien BPH dengan menggunakan skor QOL yang terdapat pada skor IPSS, mengetahui insidensi disfungsi ereksi pada pasien BPH dengan menggunakan skor IIEF-5, mengetahui hubungan penyakit BPH dengan disfungsi ereksi berdasarkan skor IPSS dan IIEF-5 yang didapatkan. Manfaat dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai evaluasi awal atau screening ada tidaknya DE pada pasien BPH sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan sesegera mungkin secara bersamaan terhadap penyakit BPH dan DE.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian analitik menggunakan rancangan cross-sectional (potong-lintang) dengan consecutive sampling untuk mengetahui koinsidensi antara klinis BPH dengan kejadian disfungsi ereksi. Ruang lingkup keilmuan dari penelitian ini mencakup bedah urologi. Penelitian ini dilakukan di klinik urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau pada Desember 2013 hingga Januari 2014. Populasi penelitian adalah pasien BPH di klinik urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau. Sampel adalah pasien BPH di klinik urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi. Besar sampel minimal yang didapatkan dengan menggunakan formula snedecor-cochran sebanyak 57 subjek.


Kriteria inklusi:
1.      Pasien pria di klinik urologi yang didiagnosis oleh dokter spesialis bedah urologi sebagai penderita BPH berdasarkan anamnesis, yaitu dengan keluhan LUTS yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan colok dubur sesuai untuk klinis BPH, serta pemeriksaan laboratorium, yaitu darah rutin, gula darah dan urinalisis, juga disertai dengan pemeriksaan radiologi bila diperlukan, sesuai dengan protokol yang ada.
2.      Bersedia diikutsertakan sebagai subjek penelitian.
Kriteria eksklusi:
1.      Pasien BPH yang mendapatkan terapi 5-α reductase inhibitor.
2.      Pasien dengan curiga adanya keganasan prostat saat melakukan DRE.
3.      Pasien dengan riwayat trauma atau cedera pada tulang belakang, tulang panggul atau tulang kemaluan.
4.      Pasien dengan hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, gangguan fungsi ginjal, penyakit hati kronis.
5.      Pasien dengan riwayat stroke, operasi prostat atau operasi daerah kelamin.
Data dilakukan dari hasil anamnesis langsung pada subjek dengan menggunakan perangkat kuesioner berupa skor IPSS, skor QOL dan skor IIEF-5 di klinik urologi. Sebelum dilakukan anamnesis, subjek akan diberi penjelasan mengenai petunjuk dan tujuan dari pengisian skor. Alat yang digunakan  pada penelitian ini adalah kuesioner yang berisi identitas responden, pernyataan persetujuan, skoring IPSS, skoring QOL, dan skoring IIEF-5. Data–data yang terkumpul akan diolah dan dianalisis dengan menggunakan program komputer. Kemudian data disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan persentase. Analisa data dalam penelitian ini meliputi analisa univariat dilanjutkan dengan analisa bivariat.

HASIL PENELITIAN
   Data yang diperoleh sebanyak 60 subjek yang memenuhi kriteria inklusi. Distribusi frekuensi pasien BPH berdasarkan umur di Klinik Urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau pada bulan Desember 2013 hingga Januari 2014, dapat dilihat pada tabel 4.1.
Tabel 4.1 Distribusi pasien BPH berdasarkan umur
Umur (tahun)
Jumlah
%


40-49                                        5
50-59                                      11
60-69                                      23
70-79                                      17
80-89                                        4
8.3
18.3
38.3
28.3
6.7


Total                                       60
100,0


Rata-rata (tahun)              64,60



Rentang (tahun)             44 - 88

Tabel 4.1 memperlihatkan bahwa umur responden berkisar antara 44-88 tahun, dengan umur rata-rata 64,60 tahun. Berdasarkan kelompok umur, pasien BPH terbanyak pada umur 60-69 tahun yaitu sebanyak 23 responden (38.3%).
Distribusi frekuensi pasien BPH berdasarkan derajat BPH yang dialami dengan menggunakan skor IPSS di Klinik Urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau pada bulan Desember 2013 hingga Januari 2014, dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2 Distribusi pasien BPH berdasarkan derajat BPH
           Derajat BPH
Jumlah
%


Ringan (0-7)                              5
Sedang (8-19)                         23
Berat (≥ 20)                            32
8.3
38.3
53.3



Total                                       60
100,0


Rata-rata                           19,30



Rentang                            6-29


Tabel 4.2 memperlihatkan bahwa jumlah skor IPSS yang ditemukan pada responden penelitian berkisar antara 6-29, dengan skor rata-rata 19,30. Berdasarkan kelompok derajat berat-ringannya BPH, pasien BPH terbanyak mengalami BPH derajat berat, yaitu sebanyak 32 responden (53.3%).
Distribusi frekuensi pasien BPH yang mengalami DE menggunakan skor IIEF-5 untuk mengetahui derajat DE yang dialami pada bulan Desember 2013 hingga Januari 2014, dapat dilihat pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Distribusi pasien BPH yang mengalami disfungsi ereksi
           Derajat DE
Jumlah
%


Normal (≥ 22)                          6
Ringan (17-21)                        5
Ringan-Sedang (12-16)          12
Sedang (8-11)                         13
Berat (5-7)                              24

10
8.3
20
21.7
40


Total                                       60
100,0


Rata-rata                           10,87



Rentang                             5-23


Tabel 4.3 memperlihatkan bahwa jumlah skor IIEF-5 yang ditemukan pada responden penelitian berkisar antara 5-23, dengan skor rata-rata 10,87. Berdasarkan kelompok derajat berat-ringannya DE, pasien BPH terbanyak mengalami disfungsi ereksi derajat berat, yaitu sebanyak 24 responden (40%).
Distribusi frekuensi tingkat kualitas hidup pasien BPH menggunakan skor QOL di Klinik Urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau pada bulan Desember 2013 hingga Januari 2014, dapat dilihat pada tabel 4.4.


Tabel 4.4 Distribusi pasien BPH berdasarkan derajat QOL                      
           Derajat QOL
Jumlah
%


Senang sekali (0)                      0
Senang (1)                                0
Puas (2)                                     0
Puas-tidak puas (3)                   5
Tidak puas (4)                         35
Tidak bahagia (5)                   17  
Buruk sekali (6)                       3
 0
 0
 0
 8.3
58.3
28.3
  5


Total                                       60
100,0


Rata-rata                            4,30



Rentang                             3 - 6


Tabel 4.4 memperlihatkan bahwa skor QOL yang ditemukan pada responden penelitian berkisar antara 3-6, dengan skor rata-rata 4,30 dan tingkat QOL pasien BPH yang terbanyak yaitu berupa tidak puas sebesar 58,3%.
Untuk melihat ada tidaknya hubungan antara BPH dengan disfungsi ereksi digunakan uji korelasi Pearson pada uji parametrik. Namun, pada penelitian ini didapatkan distribusi data tidak normal. Oleh karena itu digunakan uji alternatifnya yaitu uji korelasi Spearman. Hasil uji statistik hubungan antara BPH dengan disfungsi ereksi (parametrik) dapat dilihat pada tabel 4.5.

Tabel 4.5 Hasil uji hipotesis hubungan BPH dengan disfungsi ereksi (parametrik)


Jumlah skor IIEF-5


Jumlah skor IPSS                     r
                                                  p
                                                  n
          -0,892
          < 0,001
           60

Dari hasil diatas, diperoleh nilai Significancy 0,000 yang menunjukkan bahwa korelasi antara jumlah skor IPSS dengan jumlah skor IIEF-5 adalah bermakna pada p < 0,05. Nilai korelasi Spearman sebesar 0,892 menunjukkan bahwa kekuatan korelasi sangat kuat dan arah korelasi negatif, yaitu semakin besar jumlah skor IPSS maka semakin kecil jumlah skor IIEF-5.
Untuk melihat ada tidaknya hubungan derajat BPH dengan derajat disfungsi ereksi digunakan uji korelasi Spearman pada uji non-parametrik. Hasil uji statistik hubungan antara BPH dengan disfungsi ereksi (non-parametrik) dapat dilihat pada tabel 4.6.





Tabel 4.6 Hasil uji hipotesis hubungan BPH dengan disfungsi ereksi (non-parametrik)


      Derajat DE


Derajat BPH                             r
                                                  p
                                                  n
          0,836
          < 0,001
           60

Dari hasil diatas, diperoleh Significancy 0,000 yang menunjukkan bahwa korelasi antara derajat BPH dengan derajat disfungsi ereksi adalah bermakna pada p < 0,05. Nilai korelasi Spearman sebesar 0,836 menunjukkan bahwa kekuatan korelasi sangat kuat dan arah korelasi positif, yaitu semakin besar derajat BPH maka semakin besar pula derajat DE yang diderita oleh pasien.

PEMBAHASAN
            BPH merupakan jenis tumor jinak yang paling sering ditemukan pada pria.14,15 Usia merupakan kondisi yang sangat berkaitan dengan BPH, dimana kejadian BPH akan semakin meningkat seiring dengan bertambahnya usia.15
Sebanyak 60 pasien BPH rawat jalan di Klinik Urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau yang berpartisipasi dalam penelitian menunjukkan bahwa usia rata-rata pasien adalah 64,60 tahun dengan rentang usia 44-88 tahun. Hal ini sesuai dengan penelitian Ikuerowo (2008) di Nigeria, yaitu rata-rata usia pasien BPH yang didapatkan di klinik adalah 64,8 tahun dengan rentang usia 46-84 tahun dan penelitian oleh Glina (2006) di Brazil, yaitu rata-rata usia pasien BPH yang didapatkan di klinik adalah 61,7 tahun dengan rentang usia 45-82 tahun.16,17 Tidak jauh berbeda dengan penelitian oleh Shao (2005) di China , yaitu rata-rata usia pasien BPH adalah 67,90 tahun dan penelitian oleh Minana (2013) di Spanyol yaitu rata-rata pasien BPH di klinik berusia 65,7 tahun.18,19
Dilihat dari kelompok usia, pasien BPH rawat jalan Klinik Urologi ditemukan paling banyak pada kelompok usia 60-69 tahun sebesar 38.3% dan terbanyak kedua pada kelompok usia 70-79 tahun sebesar 28.3%. Menurut penelitian dari Ozayar (2008), yaitu rata-rata usia pasien BPH ialah 66,5 tahun dengan rentang usia 50-89 tahun dan yang tebanyak ada pada kelompok usia 70-79 tahun sebesar 38% dan terbanyak kedua ada pada kelompok usia 60-69 tahun sebesar 35%.20 Penyebab lebih sedikitnya jumlah sampel pada kelompok usia 70-79 dan 80-89 tahun dari pada jumlah sampel kelompok 60-69 tahun pada penelitian yang dilakukan oleh peneliti kemungkinan dikarenakan memang tidak banyak orang yang mencapai usia diatas 79 tahun dan kemungkinan juga dikarenakan jumlah kunjungan ke rumah sakit untuk pasien pada kelompok umur 70-79 tahun dan 80-89 tahun memang lebih sedikit dibandingkan kelompok umur 60-69 tahun.21
Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya oleh Sabri (2011), menyatakan bahwa usia pasien BPH di RSUD Arifin Achmad paling banyak pada kelompok usia 70-79 tahun sebesar 37.37% dan terbanyak kedua pada kelompok usia 60-69 tahun sebesar 30.30%. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti disebabkan karena penelitian Sabri sampelnya adalah pasien BPH yang menjalani TURP.22
Penentuan derajat BPH dengan menggunakan skor IPSS, yaitu skor yang dianjurkan oleh World Health Organization (WHO). Pada setiap pertanyaan yang tercantum dalam IPSS, memiliki rentang nilai antara 0-5. Pengelompokan skor berupa gejala LUTS terbagi dalam tiga derajat yaitu skor 0-7 berupa gejala ringan, skor 8-19 berupa gejala sedang, dan skor  ≥ 20  merupakan gejala berat.9,23 Skor ini merupakan alat pemandu yang penting untuk menilai keadaan pasien dan juga untuk mempertimbangkan tatalaksana bagi pasien BPH.7
Distribusi frekuensi pasien BPH berdasarkan derajat BPH menggunakan skor IPSS di Klinik Urologi didapatkan derajat BPH yang paling banyak ditemukan ialah derajat berat, yaitu sebesar 53.3% dengan rata-rata jumlah skor IPSS adalah sebesar 19,30. Tidak jauh berbeda dari penelitian Morales (2001) didapatkan bahwa rata-rata jumlah skor IPSS yang didapatkan adalah 19,20 dan penelitian oleh Shao (2008) didapatkan bahwa rata-rata jumlah skor IPSS yang didapatkan adalah 18,4.18,24 Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian oleh Nugroho (2012) bahwa derajat BPH yang paling banyak ditemukan adalah derajat berat yaitu sebesar 56% dengan rata-rata jumlah skor IPSS 19,69.13,22 Fenomena besarnya insidensi pasien BPH dengan derajat berat ini bisa dijelaskan karena pasien-pasien BPH tersebut akan datang mencari pengobatan medis bila gejalanya sudah sangat mengganggu dan bertambah berat, sehingga banyak ditemukan pasien-pasien BPH di klinik sudah mengalami BPH dengan derajat berat.13
Disfungsi ereksi atau yang lebih dikenal sebagai impoten dalam masyarakat merupakan masalah seksual yang banyak terjadi pada pria. Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan untuk memperoleh ereksi secara adekuat untuk mencapai aktifitas seksual yang memuaskan dan prevalensinya meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Disfungsi ereksi ini merupakan masalah fungsi seksual yang paling sering ditemukan pada pasien BPH.25
Untuk mengidentifikasikan kemungkinan adanya disfungsi ereksi digunakan suatu indeks fungsi ereksi yaitu IIEF-5 yang terdiri atas lima pertanyaan dan tiap pertanyaan diberi nilai 0-5. Derajat disfungsi ereksi dibagi menjadi lima, yaitu derajat berat jika jumlah skor 5-7, derajat sedang jika jumlah skor 8-11, derajat ringan-sedang jika jumlah skor 12-16, derajat ringan jika jumlah skor 17-21 dan bukan disfungsi ereksi (no-ED) jika jumlah skor ≥ 22.23
Distribusi frekuensi pasien BPH yang mengalami disfungsi ereksi menggunakan skor IIEF-5 di Klinik Urologi didapatkan hampir seluruh pasien BPH, yaitu sebesar 90% pasien BPH yang berobat ke klinik mengalami disfungsi ereksi, dan 40% pasien BPH tersebut mengalami disfungsi ereksi derajat berat dengan rata-rata jumlah skor IIEF-5 sebesar 10,87. Penelitian ini tidak jauh berbeda dari penelitian Morales (2001) bahwa hampir seluruh pasien BPH yang berobat juga mengalami disfungsi ereksi yaitu sebesar 86,5% dengan rata-rata jumlah skor IIEF-5 yang didapatkan adalah 8,45.24
Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian oleh Shao (2008) di China bahwa prevalensi BPH/LUTS disertai dengan disfungsi ereksi sebesar 86,36% dengan rata-rata jumlah skor IIEF-5 yang didapatkan adalah 8,50. Tidak jauh berbeda pada penelitian Ozayar (2008) di Turki, didapatkan pasien BPH terbanyak yang berobat ialah pasien BPH yang disertai disfungsi ereksi derajat berat yaitu sebesar 36%.18,20
Menurut Multi-national Survey of The Aging Male (MSAM-7), dilaporkan bahwa fungsi ereksi akan menurun secara bermakna seiring dengan bertambah
beratnya derajat LUTS/BPH. Dikarenakan pasien-pasien BPH yang datang mencari pengobatan medis kebanyakan pasien BPH yang sudah bergejala, yaitu dengan derajat LUTS/BPH sedang hingga berat sehingga kecenderungan jumlah skor IIEF-5 yang didapatkan untuk terjadinya disfungsi ereksi derajat berat pun akan semakin menurun.13,26
Indeks kualitas hidup (quality of life= QOL) merupakan komponen penilaian yang penting untuk menilai efek keseluruhan klinis dari pasien BPH. Satu pertanyaan pada skor kualitas hidup yang telah dimasukkan oleh Komite Konsensus Internasional berguna untuk menilai dampak gejala penyakit BPH pada kualitas hidup pasien BPH dan telah menjadi rekomendasi konsisten oleh WHO sejak tahun 1991.10
Distribusi frekuensi pasien BPH berdasarkan tingkat kualitas hidup menggunakan skor QOL di Klinik Urologi didapatkan 58,3% dari semua pasien BPH yang mengikuti penelitian ini merasa tidak puas (skor = 4) pada kualitas hidup mereka, dengan rata-rata jumlah skor QOL adalah sebesar 4,3. Hal ini sesuai dengan penelitian Nugroho (2012) bahwa rata-rata jumlah skor QOL pada pasien BPH adalah sebesar 3,7 dan penelitian oleh Bertaccini (2001) bahwa rata-rata jumlah skor QOL pada pasien BPH adalah 3.0 ± 1,4.13,27 Begitu juga dengan penelitian Minana (2013) di Spanyol bahwa derajat kualitas hidup pasien BPH terbanyak adalah pada umumnya tidak puas sebesar 42,7%.19
Kebanyakan pasien dengan BPH mencari pengobatan karena gejala yang mereka rasakan sudah mengganggu dan sudah berdampak pada kualitas hidup mereka. Sehingga banyak ditemui pasien BPH yang mencari pengobatan tersebut disertai dengan kualitas hidup yang sudah mulai menurun. Meskipun pertanyaan ini merupakan pertanyaan tunggal dan tidak dapat menangkap dampak global LUTS terhadap kualitas hidup pasien, namun diyakini bahwa pertanyaan tersebut sebagai titik awal yang berharga dalam komunikasi antara dokter dan pasien.10
Telah banyak hasil studi penelitian menyatakan bahwa kejadian disfungsi ereksi salah satunya berhubungan dengan gejala penyakit BPH dan banyak artikel menunjukkan korelasi yang kuat antara instrumen IPSS dan IIEF-5, dimana jika terdapat gangguan berkemih yang semakin memburuk, juga akan terdapat perburukan pada fungsi ereksi pada pria berusia 40 tahun keatas.5
Uji hipotesis hubungan jumlah skor IPSS dan skor IIEF-5 menggunakan uji korelasi Spearman didapatkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna (p = 0,000) dan sangat kuat antara jumlah skor IPSS dan jumlah skor IIEF-5 dengan kekuatan korelasi (r) yang didapatkan sebesar 0,892 dan arah korelasi negatif, yaitu semakin besar jumlah skor IPSS maka semakin kecil jumlah skor IIEF-5. Begitu juga dengan uji hipotesis hubungan derajat BPH dengan derajat disfungsi ereksi yang juga menggunakan uji korelasi Spearman didapatkan bahwa terdapat korelasi yang bermakna (p < 0,05) dan sangat kuat antara derajat BPH dan derajat disfungsi ereksi dengan kekuatan korelasi (r) yang didapatkan sebesar 0,836 dan arah korelasi positif, yaitu semakin besar derajat BPH maka semakin besar pula derajat DE yang diderita oleh pasien.
Penelitian ini memperkuat hasil penelitian sebelumnya yang telah dilaporkan oleh Nugroho (2012) bahwa didapatkan korelasi yang bermakna (p = 0.000) dan sangat kuat antara derajat LUTS/ BPH dengan disfungsi ereksi dengan kekuatan korelasi (r) yang didapatkan sebesar 0,983 dan penelitian oleh Ozayar (2008) dengan menggunakan uji korelasi Spearman, didapatkan korelasi yang bermakna (p < 0.001) dan kuat dengan kekuatan korelasi (r) sebesar 0.621 dan arah korelasi yang negatif antara skor IPSS dengan skor IIEF-5.13,20 Penelitian ini juga sesuai dengan penelitian oleh Morales (2001) bahwa didapatkan korelasi yang bermakna (p < 0.05) antara skor IPSS dan skor IIEF-5 pada pasien BPH.24 Begitu juga hasil penelitian oleh Glina (2006) di Brazil bahwa didapatkan korelasi negatif dan bermakna (p < 0.001) antara skor IPSS dan skor IIEF-5 pada pasien BPH.17
Masih banyak hasil penelitian sebelumnya yang telah berhasil membuktikan korelasi antara penyakit BPH dan disfungsi ereksi dengan menggunakan skor IPSS dan skor IIFF-5. Dengan diketahuinya hubungan antara derajat LUTS/BPH dan disfungsi ereksi, dapat menjadi suatu titik tolak untuk dilakukannya screening fungsi seksual khususnya fungsi ereksi menggunakan perangkat kuisioner IIEF-5 pada pasien-pasien dengan LUTS/BPH. Screening awal ini diharapkan dapat mendeteksi adanya gangguan fungsi ereksi pada pasien BPH dan memungkinkan untuk dilakukan tatalaksana yang lebih dini sehingga daiharapkan dapat meningkatkan tingkat kualitas hidup pasien.13.

SIMPULAN DAN SARAN
            Berdasarkan hasil penelitian cross-sectional terhadap 60 pasien BPH yang memenuhi kriteria inklusi di Klinik Urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau periode Desember 2013 – Januari 2014 dapat ditarik kesimpulan bahwa usia rata-rata pasien yang mengalami BPH adalah 64,60 tahun dengan rentang usia 44 - 88 tahun. Berdasarkan kelompok usia, insiden tertinggi pasien yang mengalami BPH adalah pada kelompok usia 60 – 69 tahun, yaitu 38.3%. Derajat BPH yang paling banyak ditemukan pada pasien BPH yang berobat ke Klinik Urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau adalah pasien BPH dengan derajat berat, yaitu sebesar 53.3%. Tingkat kualitas hidup pasien BPH di klinik urologi yang banyak dialami ialah berupa tidak puas sebesar 58.3%. Hampir seluruh pasien BPH yang berobat ke Klinik Urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau juga mengalami disfungsi ereksi, dengan derajat disfungsi ereksi terbanyak dialami adalah disfungsi ereksi derajat berat, yaitu sebesar 40%. Terdapat korelasi antara jumlah skor IPSS dengan jumlah skor IIEF-5 pada pasien BPH di Klinik Urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau dengan p < 0,05. Terdapat korelasi antara derajat BPH dengan derajat disfungsi ereksi pada pasien BPH di Klinik Urologi RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau dengan p < 0,05.
Pada pria berusia lebih dari 40 tahun agar memeriksakan dirinya sedini mungkin jika terdapat keluhan dan gangguan miksi seperti kencing tidak tuntas, sering kencing, pancaran kencing terputus, kesulitan menahan rasa ingin kencing, pancaran air kencing lemah, mengejan saat kencing dan terbangun dari tidur saat malam hari untuk kencing. Bagi kalangan medis, khususnya dokter spesialis urologi agar dapat mendeteksi kemungkinan adanya disfungsi ereksi secara dini yang terjadi pada pasien BPH, dan jika terdeteksi dapat dilakukan pengobatan disfungsi ereksi bersamaan dengan pengobatan penyakit BPH itu sendiri, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Karena didapatkan insidensi disfungsi ereksi yang tinggi terhadap pasien BPH, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mencari penyebab atau faktor-faktor yang lebih dalam yang menyebabkan kejadian bersamaan antara disfungsi ereksi dan BPH secara patobiologi (biologi molekuler).

DAFTAR PUSTAKA
1.      Edward David Kim. Erectile Dysfunction. Medscape Medical News [serial online]. 2013 September [dikutip pada 12 oktober 2013]. Diakses dari: http://emedicine.medscape.com/article/444220-overview
2.      Paul Arduca, GradDipVen. Erectile Dysfunction: A guide to diagnosis and management. Middle East Journal of Family Medicine. 2004;4(4).
3.      Auanet.org [homepage pada internet]. Erectile Dysfunction (ED). New York: American Urological Association [dikutip pada 11 Nov 2013]. Diakses dari: http://www.auanet.org/common/pdf/education/ED.pdf
4.      Stephanie M Meller, Erik Stilp, Charles N. Walker, Carlos Mena-Hurtado. The Link Between Vasculogenic Erectile Dysfunction, Coronary Artery Disease, and Peripheral Artery Disease: Role of Metabolic Factors and Endovascular Therapy. The Journal of Invasive Cardiology. 2013;25(6):313-19.
5.      Sidney Glina, Felipe Glina. Pathogenic mechanisms linking benign prostatic hyperplasia, lower urinary tract symptoms and erectile dysfunction. Therapeutic Advances in Urology.2013;5(4):211-218.
6.      Claus G Roehrborn. Benign Prostatic Hyperplasia: An Overview. Reviews in Urology.2005;7 Suppl 9:S3-14.
7.      J de la Rosette, G Alivizatos, S Madersbacher, C Rioja Sanz, J Nordling, M Emberton, S Gravas, MC Michel, M Oelke. Guidelines on Benign Prostatic Hyperplasia. European Association of Urology.2006:5.
8.      Matthew BG, Alan W Partin, David YC. Lower Urinary Tract Symptoms (LUTS) and Benign Prostatic Hyperplasia (BPH). In: Robert G Moore, Jay T Bishoff, Stefan Loenig, Steven G Docimo, eds. Minimally Invasive Urological Surgery. USA: Taylor and Francis Group plc; 2005. p.545.
9.      Basuki B Purnomo. Dasar-dasar Urologi. edisi kedua. Jakarta: Sagung Seto; 2009.
10.  Alan J Wein, David Lee. Benign Prostatic Hyperplasia and Related Entities. In: Philip M Hanno, Alan J Wein, Bruce Malkowicz, eds. Penn Clinical Manual of Urology. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007. p.483-504.
11.  Gómez Acebo, Rodríguez Vallejo JM, Rodríguez Mora VI, García Alcázar. Quality of life and symptomatology in benign prostate hyperplasia in active Spanish population. Medicina clínica. 2000;114(3):81-9.
12.  MK Li, Garcia LA, Rosen R.. Lower urinary tract symptoms and male sexual dysfunction in Asia: a survey of ageing men from five Asian countries. BJU International. 2005;96(9):1339-54.

13.  Nugroho Budi Utomo, Ponco Birowo, Nur Rasyid, Akmal Taher. Disfungsi Ereksi pada Pasien Benign Prostatic Hyperplasia dengan Lower Urinary Tract Symptoms. Jurnal Ilmu Bedah Indonesia. 2012;39-40(1-2):13-15.
14.  Michael J Barry, Mary McNaughton-Collins. Benign Prostate Disease and Prostatitis. In: Lee Goldmen, Dennis Ausiello, editors. Cecil Medicine. 23rd ed. Philadelphia: Elseviers Saunders; 2007.
15.  Horchani A, Binous MY, Ben Hamida A, Sallami S, El Adbi H, Naji A. Prevalence of benign prostatic hyperplasia in general practice and practical approach of the Tunisian general practitioner (Prevapt study). Tunis Med. 2007 Aug;85(8):619-24.
16.  Ikuerowo SO, Akindiji YO, Akinoso OA, Akinlusi FM, Esho JO. Association Between Erectile Dysfunction and Lower Urinary Tract Symptoms due to Benign Prostatic Hyperplasia  in Nigerian Men. Urol Internationalis.2008;80(3):296-9.
17.  Sidney Glina, Antonio Santana, Flavio Azank, Luiz Mello, dan Edson Moreira. Lower Urinary Tract Symptoms and Erectile Dysfunction are Highly Prevalent in Ageing Man. BJU International. 2006; 97(4): 763-765.
Shao Q, Song J, Guo YW, Lu WC, Du LD. Evaluation of sexual function in men with symptomatic benign prostatic hyperplasia. National Journal of Andrology.
19.  Minana, Antolin, Prieto, Pedrosa. Severity Profiles in Patients Diagnosed of Benign Prostatic Hyperplasia in Spain. Actas Urol Esp. 2013.
20.  Asim Ozayar, Ali Zumrutbas, Onder Yaman. The Relationship between Lower Urinary Tract Symptoms, Diagnostic Indicators of Benign Prostate Hyperplasia (BPH), and Erectile Dysfunction in Patients with Moderate to Severely Symptomatic BPH. Int Urol Nephrol. 2008; 40: 933-939.
21.  Dianika RA. Korelasi antara kejadian leukosituria dan volume prostat penderita pembesaran prostat jinak pada pemeriksaan ultrasonografi [skripsi]. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret;2010.
22.  Sabri M. Gambaran Pasien Hiperplasia Prostat Jinak yang Menjalani Reseksi Prostat Transuretra di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau Periode Januari 2009 – Desember 2010 [skripsi]. Pekanbaru: Fakultas Kedokteran Universitas Riau; 2011.
23.  Emil Tanagho, Jack WM. editors. Smith’s General Urology Seventeenth Edition. USA: The  McGraw-Hill Companies,Inc; 2008.
24.  Morales Heaton. Hormonal erectile dysfunction: evaluation and management. Urol Clin North Am. 2001; 28:279–288.
25.  Clint E. Bruess, Dean Emeritus, Elizabeth Schroeder. Sexuality Education Theory and Practice. 6th ed. England: Jones & Bartlett Publishers; 2013.
26.  Rosen R, Altwein J, Boyle P, et al. Lower urinary tract symptoms and male sexual dysfunction: the multinational survey of the aging male (MSAM-7). Eur Urol. 2003;44:637-49.
27.  Bertaccini A, Vassallo F, Martino F, Luzzi L, Rocca Rossetti, Di Silverio, Comunale L. Symptoms, Bothersomeness and Quality of Life in Patients with LUTS Suggestive of BPH. Eur Urol 2001;40(suppl 1):13–18.